SAKuningan News - Selama bulan April 1955, Bandung menjadi pusat perhatian dunia. Delegasi dari 29 negara berkumpul merumuskan satu gerakan untuk masa depan dunia.
Negara-negara Asia Afrika berdiri tegak sebagai satu kekuatan. Mereka berusaha menjadi kekuatan ketiga setelah Liberal dan Komunis
Namun terselip cerita miring di tengah pelaksanaan KAA pertama tersebut. Disebutkan ada sebuah panitia khusus yang bisa memenuhi apapun permintaan para tamu delegasi tersebut. Panitia ini dinamakan 'Hospitality Committee (HC)' alias Panitia 'ramah tamah'.
Ada kartu khusus yang ditawarkan untuk para tamu. Dengan kartu khusus itu, tamu bisa minta diantarkan ke sebuah rumah di Jl Setiabudhi. Di rumah itulah konon sudah disiapkan para wanita cantik untuk menemani peserta KAA itu.
Sejumlah jurnalis mencoba menginvestigasi masalah ini. Di atas kertas resmi, tentu tak ada penjelasan soal panitia ramah tamah ini.
Majalah Tempo edisi 25 April 2005 pernah menulis soal wanita penghibur ini. Saat penyelenggaraan KAA, 57 tahun itu soal 'Panitia Ramah Tamah' ini memang menyita perhatian media.
Kisah ini dituturkan Bambang Hidayat. Saat itu usianya baru 21 tahun. Mahasiswa Astronomi ITB ini bertugas menjadi liaison officer atau penghubung. Tugasnya mengantar anggota delegasi ke sana ke mari. Saat itulah ada yang menyuruh Bambang mengantarkan tamunya ke rumah di Jl Setiabudhi.
"Saya disuruh mengantar salah satu delegasi ke tempat itu, tapi saya tolak," kata Bambang Hidayat saat diwawancara Tempo sepuluh tahun silam.
Keberadaan panitia penghibur ini ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Indonesia. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menyatakan tidak tahu menahu soal ini.
"Saya yakin Bung Karno juga tidak tahu soal ini," katanya.
Sementara itu wartawan senior Joesoef Isak yang meliput konferensi itu sebagai wartawan Harian Merdeka, juga mendengar desas desus soal wanita penghibur itu. Namun Joesoef mengaku tidak pernah melihat langsung anggota delegasi yang menggunakan jasa wanita penghibur ini.
Isu ini makin memanas setelah pelaksanaan KAA. Sejumlah tokoh Islam dan politikus Bandung mempertanyakan hal ini pada panitia lokal, termasuk Gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata dan Wali Kota Bandung saat itu R Enoch.
Sanusi membantah hal tersebut begitu juga Enoch. "Jika terjadi betul sangat tercela karena mencemarkan nama," ujar Sanusi seperti dikutip Pikiran Rakjat, 6 Mei 1955.
Isu ini perlahan sirna dimakan waktu. Tak pernah ada bukti nyata keberadaan para wanita penghibur yang mewarnai konferensi bergengsi tersebut.
0 komentar:
Post a Comment